Radarandalasnews.com- Para produsen minyak kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan harga minyak sawit (CPO) di pasar global.
Lonjakan harga minyak goreng di Indonesia terasa ironis, mengingat pasokan minyak sawit di tanah air selalu melimpah. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil CPO terbesar di dunia.
Saat ini, banyak perusahaan produsen minyak goreng besar menggarap perkebunan kelapa sawit di tanah negara yang diberikan melalui skema hak guna usaha (HGU). Bahkan, beberapa HGU perkebunan sawit besar berada di bekas lahan pelepasan hutan.
Meski begitu, pemerintah tak mampu memaksa produsen menurunkan harga minyak goreng yang masuk dalam kebutuhan pokok masyarakat sesuai aturan harga eceran tertinggi (HET).
Sebenarnya Pemerintah sendiri bisa mencabut SIUP ataupun HGU yang dipegang pengusaha perkebunan dan perdagangan kapan saja apabila dianggap tidak memenuhi ketentuan
sebagai landasan UUD 1945 Pasal 33. Di mana bumi dan kekayaan di dalamnya bisa dipakai sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Tetapi apa yang terjadi sekarang, tidak lebih dari deretan kesengsaraan yang dialami rakyat, akibat kebijakan yang selalu mengatas namakan rakyat, mirisnya lagi bumi Indonesia ini kaya raya sehingga negara negara lain pun tergiur akan kekayaan nya. Betapa tidak, diatas buminya pohon minyak didalam buminya kolam minyak, tetapi kenapa rakyatnya kekurangan minyak!! ! ?? ? ? Padahal rakyat sekedar hanya untuk makan, istilahnya tengok boleh, pegang tak boleh.
Belum lagi pedagang yang juga ikut bermain di kancah pertarungan para elit mafia minyak serta oknum oknum yang ikut andil , seperti yang terjadi baru baru ini 1,1 juta kg minyak goreng kemasan ditimbun di salah satu gudang di Kabupaten Deliserdang, Sumatra Utara (Sumut). Tidak heran jika gubernur Sumut mengatakan bahwa ada Dalang Dibalik kelangkaan Minyak Goreng saat ini.
Pemerintah lebih memilih gelontorkan subsidi
Ketimbang menekan pengusaha untuk menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET), pemerintah lebih memilih menggelontorkan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS.
Dalam konteks ini, subsidi untuk menutup selisih harga keekonomisan dengan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang ditentukan pemerintah Rp 14.000 per liter itu ditujukan bagi produsen minyak goreng
Per 19 Januari 2022, pemerintah menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga, yaitu Rp 14.000 per liter, untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium.
Jumlah minyak goreng bersubsidi yang akan digelontorkan selama enam bulan itu sebanyak 1,5 miliar liter. Pemerintah telah menyediakan dana Rp 7,6 triliun untuk menutup selisih harga keekonomisan dan HET minyak goreng.
Harga keekonomisan minyak goreng itu akan diveluasi setiap bulan dengan melihat pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global.
Di sisi lain, Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Media Online Indonesia Kab. Rokan Hilir (DPD IMO) Abdullah mengaku tak habis pikir dengan meroketnya harga minyak goreng di negara penghasil sawit terbesar di dunia.
Menurutnya, minyak goreng merupakan produk turunan dari minyak sawit (CPO) yang merupakan produk dalam negeri. Namun anehnya dijual untuk masyarakat di dalam negeri dengan patokan harga global.
“Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik. Jangan harga internasional untuk nasional,” ujar Bang Doell saat di minta Tanggapannya beberapa waktu lalu.
Menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai konsumen. Mengingat sejatinya, perusahaan besar juga menanam sawitnya di atas tanah negara melalui skema HGU.
Di sisi lain, pemerintah juga banyak membantu pengusaha kelapa sawit dengan membantu membeli CPO untuk kebutuhan biodiesel.
Bahkan pemerintah membantu pengusaha sawit swasta dengan mengucurkan subsidi biodiesel besar melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Saat harga minyak sawit dunia naik, tak seharusnya pemain besar produsen minyak goreng menjual produknya dengan harga mahal yang membebani masyarakat.
Soal kenaikan harga karena alasan banyaknya pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi alias tidak memiliki kebun sawit juga tidak masuk akal.
Ini karena hampir semua pemain besar produsen minyak goreng juga menguasai perkebunan kelapa sawit. Minyak goreng yang diproduksi para pemain besar juga ikut melonjak.
“Diduga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,”
Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan. (Red)
PENERBIT: Tim Redaksi