PENYEBAB INTENSITAS DAN FREKUENSI BENCANA ALAM BANJIR, LONGSOR DAN ABRASI
(Alih fungsi hutan menjadi perkebunan)
Opini oleh : SATRIA OYON
Meski sedang gencar-gencarnya kampanye pentingnya penyelamatan hutan alam dan mangrove, justru masih banyak pihak yang menjadi musuh bagi inisiatif penyelamatannya.
Tingginya konversi hutan menjadi berbagai peruntukan lahan tersebut diyakini menjadi penyebab utama tingginya intensitas dan frekuensi bencana banjir dan tanah longsor sebagaimana kini banyak terjadi di berbagai wilayah di kabupaten Rokan Hilir
Akibat lemahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan bahwa Pepohonan pada hutan bakau dipesisir pantai pasang surut menghasilkan serasah yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan bahan organik lantai hutan, sedemikian rupa sehingga lantai hutan memiliki kapasitas peresapan air (infiltrasi) yang jauh lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan non-hutan.
Budaya pembukaan lahan perkehunan dikawasan Hutan Bakau (Mang6ove) berdampak ekologis dan sosial ekonomi lain seperti polusi perairan pesisir dan penurunan hasil panen makanan domestik. Disarankan untuk membuat undang-undang baru, melaksanakan peraturan yang sudah ada, konservasi hutan bakau yang masih ada, Rehabilitasi besar-besaran terhadap area hutan bakau yang terancam rusak serta mempromosikan penangkapan ikan dan budidaya perikanan yang berwawasan lingkungan.
Tebalnya lapisan serasah juga meningkatkan aktifitas biologi tanah, sedangkan siklus hidup/pergantian perakaran pohon bakau yang amat dinamis dalam jangka waktu yang lama, membuat tanah hutan memiliki banyak pori-pori berukuran besar, sehingga tanah hutan memiliki laju penyerapan air/pengisian air tanah yang jauh lebih tinggi.
Pemerintah daerah harus membuka mata Memperhatikan dampak lingkungan konversi hutan menjadi perkebunan sawit sebagaimana tergambar di atas, kemudian memperhatikan banyaknya kasus penebangan hutan Mangrove dengan kedok pembukaan lahan, sudah saatnya pemerintah disetiap kecamatan, Kepenghuluan dan kelurahan perlu ekstra hati-hati dalam menerbitkan surat konversi hutan yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.599/Menhut-VII/2005 tertanggal 12 Oktober 2005 tentang Penghentian/Penangguhan Pelepasan Kawasan harus menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan.
Memperhatikan melimpahnya sumberdaya lahan dan semakin menyusut dan langkanya hutan Bakau (Mangrove) disepanjang pesisir pantai Kecamatan Kubu Darussalam (KUBA), Sinaboi, Bangko Pulau Barkey kini telah dilakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak lagi dilakukan dengan cara mengkonversi hutan, Masih tersedia sumberdaya lahan yang maha luas dan tidak produktif menunggu sentuhan investasi. Sudah saatnya pembangunan tidak sekedar mengejar pertumbuhan, namun harus menjunjung tinggi kelestarian lingkungan. Investasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sudah banyak terbukti merusak lingkungan, bahkan merusak kehidupan. Jangan biarkan darah dan airmata serta dana terbuang percuma karena kesalahan pengambilan keputusan.