Oleh :
Idha Arofatun Budiarti,
Tengku Suhaidah, Dr.Shelvie Famella, M. Pd.
Prof. Dr. Adolf Bastian, S. Pd., M. Pd
SD Negeri 004 Bagan Timur, Rokan Hilir, Pascasarjana Universitas Lancang Kuning
“Saya tidak hanya mengatur jadwal pelajaran dan menandatangani surat tugas. Saya juga harus menjaga emosi guru yang mulai lelah, menjembatani visi yang berbeda, dan meredakan konflik internal yang seringkali datang tanpa diundang.
Semua ini demi satu tujuan: menjaga agar perubahan tidak menjadi kehancuran.”
Pernyataan di atas bukan sekadar ungkapan personal, melainkan cerminan realitas yang dihadapi oleh banyak kepala sekolah hari ini. Dalam bayang-bayang tanggung jawab administratif, mereka juga memikul beban emosional dan sosial yang tak kalah besar.
Kepemimpinan di sekolah bukan lagi sekadar urusan teknis birokrasi, tetapi tentang bagaimana menggerakkan perubahan tanpa menimbulkan kehancuran dari dalam.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan gelombang digitalisasi pendidikan, organisasi sekolah tidak lagi memiliki ruang untuk menolak perubahan. Transformasi pendidikan menjadi keniscayaan yang harus dijalani secara proaktif. Kurikulum Merdeka yang memberikan keleluasaan belajar sesuai dengan minat dan bakat siswa, penerapan teknologi digital dalam proses pembelajaran, serta tuntutan akan budaya kolaboratif antara guru, siswa, dan orang tua telah menjadi faktor pendorong utama bagi setiap satuan pendidikan untuk terus berinovasi. Namun demikian, perubahan bukan sekadar mengganti metode atau sistem, melainkan menuntut perubahan mentalitas dan cara berpikir seluruh warga sekolah. Aulia dan Aslami (2023) mengingatkan bahwa perubahan yang tidak dirancang dengan matang dan tidak dikomunikasikan dengan baik kepada semua pihak hanya akan menghasilkan penolakan yang bersifat laten maupun eksplisit.
Resistensi tersebut dapat bermetamorfosis menjadi konflik internal yang apabila dibiarkan, dapat meruntuhkan semangat kolegialitas dan efektivitas organisasi.
Salah satu dampak paling nyata dari resistensi terhadap perubahan adalah munculnya konflik. Konflik dalam organisasi pendidikan tidaklah muncul begitu saja, melainkan sebagai respons atas ketidaksesuaian antara harapan, kebijakan, dan kenyataan di lapangan.
Ketika perubahan diperkenalkan, tidak semua individu menyambutnya dengan tangan terbuka. Di sekolah, konflik bisa terjadi antar guru, antara guru dan kepala sekolah, hingga antara pihak sekolah dan orang tua siswa. Bentuk konflik bisa berupa perbedaan pandangan, rasa tidak puas, kecemburuan tugas, hingga penolakan halus terhadap kebijakan baru.
Menurut Amaliyah Mutiara (2023), konflik bisa menjadi fungsional jika diarahkan pada penyelesaian masalah dan pencarian solusi bersama. Namun, bila konflik tidak ditangani dengan strategi manajemen yang baik, maka konflik tersebut akan bersifat disfungsional dan berpotensi memperlambat bahkan menggagalkan laju perubahan dalam institusi pendidikan.
Akar dari konflik tersebut sering kali berasal dari aspek psikologis yang paling dalam dalam diri individu, yaitu rasa aman, kenyamanan rutinitas, dan identitas personal di dalam sistem yang sudah berjalan lama.
Perubahan metode pembelajaran yang mengharuskan guru beradaptasi dengan teknologi baru, penugasan ulang tanggung jawab yang dianggap menambah beban kerja, atau penyusunan ulang struktur organisasi sekolah merupakan pemicu kegelisahan yang nyata. Guru yang selama ini merasa nyaman dengan pendekatan konvensional bisa merasa cemas, takut kehilangan kendali kelas, atau bahkan merasa tidak relevan lagi. Reaksi terhadap perubahan bisa muncul dalam bentuk penolakan diam-diam, penundaan implementasi, hingga sabotase terhadap program perubahan. Kondisi ini membuat tugas kepala sekolah menjadi semakin kompleks dan penuh tantangan, karena perubahan yang menyentuh aspek identitas ini membutuhkan pendekatan yang sangat hati-hati dan humanistik.
Dalam konteks seperti inilah, kepala sekolah tidak dapat berperan hanya sebagai pelaksana administratif atau pengambil keputusan satu arah. Mereka harus menjadi pemimpin transformasional yang mampu memainkan banyak peran sekaligus: sebagai fasilitator yang membuka ruang dialog, sebagai pendengar yang menyerap aspirasi, dan sebagai penengah yang mengelola konflik secara objektif dan adil. Salah satu kerangka teori yang sering digunakan untuk memandu proses perubahan organisasi adalah teori Kurt Lewin, yang membagi proses perubahan menjadi tiga tahap: unfreezing (mencairkan pola lama), changing (melaksanakan perubahan), dan refreezing (menstabilkan sistem baru). Namun, Harahap et al. (2024) menyoroti bahwa dalam praktiknya, banyak kepala sekolah gagal pada tahap awal yaitu unfreezing, karena tidak mampu meruntuhkan pola pikir lama yang sudah membatu dalam budaya organisasi.
Kepemimpinan transformasional yang dibutuhkan dalam situasi ini tidak cukup hanya mengandalkan kewenangan struktural atau instruksi formal. Ia harus dibangun dari kesadaran kolektif bahwa perubahan adalah bagian dari proses tumbuh dan berkembangnya organisasi.
Komunikasi menjadi elemen kunci yang tidak bisa ditawar. Kepala sekolah harus mampu menjelaskan alasan perubahan dengan jujur, menyampaikan visi masa depan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh semua kalangan, dan menciptakan forum-forum komunikasi yang terbuka, aman, serta setara. Dalam pandangan Rahim (2000), pengelolaan konflik yang sehat dalam organisasi hanya mungkin terjadi apabila seluruh proses komunikasi didasarkan pada prinsip transparansi, kepercayaan, dan partisipasi aktif dari semua elemen organisasi.
Selain itu, untuk mendukung kelancaran perubahan dan meminimalisir potensi konflik, kepala sekolah perlu menyusun strategi yang realistis dan berbasis pada kebutuhan nyata di lapangan.
Strategi tersebut dapat mencakup pelatihan guru yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik mereka sehari-hari, penyusunan sistem penghargaan yang adil dan mendorong kolaborasi, pembagian tugas secara proporsional dan berdasarkan kapasitas individu, serta peningkatan literasi digital dan kecakapan sosial-emosional guru. Lebih penting lagi, pemimpin sekolah harus bersedia mendengar dengan empati sebelum memberikan instruksi.
Hal ini akan membangun kepercayaan dan menciptakan iklim kerja yang lebih sehat.
Kepala sekolah sejatinya bukan sosok yang harus tahu segalanya atau bisa melakukan segalanya. Tetapi mereka adalah pemimpin yang memikul tanggung jawab untuk menjaga organisasi tetap berjalan di tengah arus perubahan yang deras. Mereka menjadi penyangga stabilitas dan agen perubahan sekaligus.
Dalam senyap, mereka menjadi pemadam api konflik dan penyulut semangat baru bagi seluruh warga sekolah.
Kepemimpinan sekolah di era pendidikan modern menuntut sensitivitas sosial, kecakapan komunikasi interpersonal, ketangguhan dalam menghadapi tekanan, serta kemampuan untuk melihat konflik sebagai peluang pembelajaran, bukan sebagai ancaman.
Dalam praktik sehari-hari, kepala sekolah kerap kali menghadapi berbagai ekspektasi dari banyak pihak. Masyarakat menuntut mutu pendidikan yang tinggi, pemerintah mendorong inovasi kebijakan, guru menantikan kejelasan arah, dan siswa membutuhkan kenyamanan belajar.
Di balik layar semua itu, ada realitas kompleks yang tidak selalu terlihat. Kepala sekolah harus menjembatani semua kepentingan ini dengan tetap menjaga kestabilan organisasi. Mereka harus memastikan bahwa perubahan yang digulirkan tidak menciptakan kegaduhan, melainkan mendorong perbaikan berkelanjutan.
Oleh karena itu, dukungan terhadap kepala sekolah tidak boleh berhenti hanya pada aspek struktural seperti anggaran dan kebijakan. Dukungan tersebut harus diwujudkan dalam bentuk pelatihan kepemimpinan berkelanjutan, penguatan jejaring profesional, pemberian ruang reflektif untuk kesehatan mental pemimpin, serta pengakuan atas peran vital mereka dalam mengelola dinamika organisasi. Kepala sekolah memerlukan ruang aman untuk belajar, bertumbuh, dan berefleksi atas kompleksitas tugasnya.
Sudah saatnya publik dan pemangku kebijakan memahami bahwa keberhasilan reformasi pendidikan tidak semata ditentukan oleh kurikulum baru atau infrastruktur digital, tetapi juga oleh kekuatan kepemimpinan di sekolah. Kepemimpinan yang menyulut perubahan dan memadamkan konflik tidak tercipta begitu saja, melainkan dibentuk melalui proses panjang yang penuh ketekunan dan pengorbanan. Mari kita dukung mereka, bukan hanya dengan apresiasi simbolik, tetapi dengan langkah nyata untuk memperkuat peran mereka sebagai penggerak perubahan sejati dalam dunia pendidikan Indonesia.
Referensi:
• Aulia, R., & Aslami, N. (2023). Manajemen Perubahan di Era Digital.
• Amaliyah Mutiara, C. B. (2023). Perubahan Organisasi dalam Manajemen.
• Harahap, J., et al. (2024). Model Kurt Lewin dalam Perubahan Sekolah.
• Rahim, M. A. (2000). Managing Conflict in Organizations